Junta Myanmar Dituding Pakai Warga Rohingya sebagai “Perisai Manusia"

Menu Atas

Iklan 6

Junta Myanmar Dituding Pakai Warga Rohingya sebagai “Perisai Manusia"

Berita Celebes
18 Apr 2024




Berita Celebes. setelah lebih dari seabad dikuasai Inggris, Myanmar atau Burma akhirnya mendapatkan kemerdekaannya tahun 1948. Walau sudah merdeka, perjuangan Myanmar tidak berhenti di situ. Hingga saat ini, Myanmar harus bergelut dengan kekuasaan militer, perang sipil, pemerintahan yang lemah, dan kemiskinan yang merajalela.

Di sisi lain, kemerdekaan Myanmar menjadi awal mimpi buruk bagi etnis minoritas Rohingya di negara itu. Sejak akhir tahun 1970-an, banyak orang dari kelompok ini melarikan diri dari Myanmar karena perlakuan diskriminatif yang mereka alami.

Situasi semakin buruk bagi orang-orang Rohingya pada tahun 2016 sampai 2017 ketika Tatmadaw, militer Myanmar serta kekuatan keamanan lokal melancarkan aksi brutal terhadap mereka. Sekitar sejuta orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar akibat tragedi tersebut, mayoritas ke Bangladesh.

Namun, mereka yang tidak dapat melarikan diri mau tidak mau menjadi korban kekerasan yang lebih brutal, seperti pemerkosaan hingga pembunuhan. Baru-baru ini, banyak laporan bahwa orang-orang Rohingya banyak digunakan sebagai “perisai manusia” di negara tersebut.

Siapa Rohingya dan Apa Statusnya di Myanmar?


Komunitas Rohingya merupakan kelompok etnis minoritas yang umum beragama Islam. Mereka mempraktikkan varian Islam Sunni yang dipengaruhi sufisme. Sampai tahun 2020, diperkirakan ada 3,5 juta orang Rohingya di seluruh dunia.

Sebelum tahun 2017, populasi Rohingya sebenarnya dominan berada di Myanmar. Kira-kira satu juta orang Rohingya tinggal di Myanmar saat itu. Faktanya, jumlah mereka mengambil porsi sepertiga dari total populasi di Myanmar.

Walau jumlahnya banyak, kelompok Rohingya sulit diterima warga Myanmar. Asal-usul orang Rohingya di Myanmar dapat ditelusuri dari abad 15 saat ribuan orang Islam datang ke wilayah bekas Kerajaan Arakan. Banyak dari mereka juga datang pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 ketika wilayah Rakhine masih berada di bawah pemerintahan kolonial India-Britania.

Setelah Myanmar merdeka, Rohingya mulai terisolasi. Pemerintah terus-menerus membantah sejarah Rohingya di Myanmar serta menolak untuk mengakui orang Rohingya sebagai satu dari 135 etnis resmi di negara tersebut. Di Myanmar, kelompok Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh walau sejarah jelas-jelas menunjukkan keberadaan kelompok tersebut di Myanmar selama berabad-abad lamanya. Pemerintah pusat dan kelompok etnis yang dominan di Rakhine banyak yang juga menolak label “Rohingya”.

Di Myanmar, Rohingya tidak memiliki status akibat pemerintah menolak memberikan mereka akses untuk mendapatkan kewarganegaraan. Di tahun 1990-an, orang-orang Rohingya diberikan akses untuk mendapat kartu identifikasi.

Namun tetap saja, kartu ini bukan bukti kewarganegaraan. Beberapa tahun yang lalu, pemerintah juga mewajibkan kelompok Rohingya membawa kartu verifikasi nasional kemanapun mereka pergi. Dengan kartu ini mereka hanya boleh mengidentifikasi diri mereka sebagai orang asing, bukan warga negara.

Rohingya Pasca Kudeta Aung San Suu Kyi


Aung San Suu Kyi menjadi pemimpin de facto Myanmar tahun 2015. Pada masa pemerintahannya, Suu Kyi mendapat banyak sekali dukungan domestik. Meski begitu, banyak kritik yang menilai Suu Kyi gagal membangkitkan demokrasi yang sudah lama mati di negara tersebut. Alih-alih membangkitkan demokrasi, Suu Kyi justru membela aksi kekerasan terhadap orang Rohingya dan membatasi kebebasan pers.

Di tahun 2021, pemerintahan Suu Kyi runtuh akibat kudeta junta militer. Banyak orang saat itu berharap kudeta ini dapat menjadi harapan bagi lahirnya kembali demokrasi di Myanmar. Sayangnya, harapan itu kandas karena kudeta justru mendorong Myanmar masuk ke dalam periode penuh kekerasan yang baru. Perekonomian Myanmar ikut merosot pasca kudeta.

Bagi komunitas Rohingya, kudeta oleh junta sama saja seperti menumpuk beban. Bukan hanya diskriminasi, kini banyak laporan beredar bahwa mereka juga dipaksa masuk ke dalam militer.

Junta tidak mengakui tuduhan itu. Namun, sebuah video amatir yang beredar pada 6 Maret lalu menampilkan kebenarannya. Video tersebut menunjukkan 300 anak muda Rohingya yang berasal dari kamp Internally Displaced Persons (IDP) sedang dipaksa menggunakan seragam militer dan duduk di sebuah gudang besar.

Video itu juga menampilkan Menteri Keamanan dan Urusan Perbatasan Negara Bagian Rakhine, Kolonel Kyaw Thura sedang mengawasi operasi tersebut.

Aung Kyaw Moe, Wakil Menteri Hak Asasi Manusia Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) mengatakan, junta “berusaha menggunakan orang-orang Rohingya sebagai perisai manusia untuk keuntungan politik.” “Junta militer, yang telah kalah telak dalam pertempuran melawan Tentara Arakan, memanfaatkan warga Rohingya karena kebutuhan untuk memperkuat barisan mereka, dan membawa mereka dari kamp-kamp pengungsi di mana tidak ada lahan untuk lari,” katanya.

Tentara Arakan (AA) Tentara Arakan (AA) pertama kali muncul tahun 2009. Kelompok itu didirikan oleh para pemimpin muda Rakhine dan merupakan faksi militer terlatih dan bersenjata lengkap yang mewakili etnis minoritas yang beragama Budha.

AA juga merupakan bagian dari Aliansi Tiga Persaudaraan yang terdiri dari Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar dan Tentara Pembebasan Nasional Ta’Ang. Diperkirakan terdapat 45.000 tentara yang tergabung dalam AA. Misi AA ini adalah “memulihkan kedaulatan rakyat Arakan”.

AA mengawali pertarungannya dengan junta pada November 2023. Pada Januari dan Februari, lusinan warga sipil Rohingya tewas akibat serangan junta.

Taktik Rekrutmen Paksa


Beberapa warga Rohingya telah mengonfirmasi kepada VOA bahwa kira-kira 500 anak muda Rohingya di kamp IDP telah mengikuti pelatihan militer. Hal ini meningkatkan kekhawatiran akan adanya penggunaan taktik rekrutmen paksa oleh junta.

“Ketika militer menerapkan undang-undang wajib militer, komandan junta mengunjungi kamp-kamp IDP di desa Sittwe dan Rohingya sekitar tanggal 11-13 Februari, daerah yang sebelumnya mereka hindari,” kata pemuda Rohingya kepada VOA.

“Mereka pertama-tama berkonsultasi dengan para pemimpin kamp, kemudian menekan kami untuk mengangkat senjata, dengan alasan tugas kami sebagai warga negara Myanmar berdasarkan undang-undang wajib militer.”

Pemuda tersebut menambahkan, mereka juga diancam akan menghadapi konsekuensi jika menolak mengikuti arahan angkat senjata itu. “Rohingya, yang telah mengalami penindasan parah oleh militer Myanmar, hingga mencapai tingkat tuduhan genosida di negara bagian Rakhine, kini dipaksa oleh tentara untuk bergabung dalam barisan mereka dan menghadapi Tentara Arakan sebagai tameng manusia. Pemuda Rohingya dari desa tidak mampu melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh,” tambah pemuda Rohingya tersebut.

Beberapa video yang telah bertebaran di media sosial memperlihatkan orang-orang Rohingya yang direkrut militer tengah mengenakan seragam dan memegang senapan sembari duduk di atas truk militer ataupun menjalani pelatihan militer di lapangan. Investigasi VOA dengan sumber lokal menunjukkan lokasi pengambilan video-video tersebut ada di dekat Sittwe.